Senin, 24 Juni 2024 – 13:55 WIB

Jakarta – Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencatatkan defisit sebesar Rp 21,8 triliun per Mei 2024.

Baca Juga:

Sri Mulyani Sebut Prabowo Komitmen Jaga Defisit APBN 2025 di Bawah 3 Persen

Bendahara Negara menuturkan, defisit itu di angka 0,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Hal ini disampaikannya dalam Konferensi Pers terkait Kondisi Fundamental Ekonomi Terkini dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.

Keseluruhan keseimbangan kita sudah mengalami defisit Rp 21,8 triliun atau 0,1 persen PDB,” ujar Sri Mulyani di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Senin, 24 Juni 2024.

Baca Juga:

Anggaran China untuk Insentif Kendaraan Listrik Lebih Besar dari Belanja APBN RI

Konferensi Pers terkait Kondisi Fundamental Ekonomi Terkini dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025

Sri Mulyani mengatakan, capaian APBN hingga akhir Mei tersebut masih dalam rencana pemerintah, yang mana sesuai dengan Undang-Undang APBN 2024.

Baca Juga:

Bangun Rusun ASN Skema KPBU di IKN Terlalu Mahal, Basuki dan Sri Mulyani Lakukan Evaluasi

“Ini masih relatif on melacak dengan total keseluruhan keseimbangan tahun in yang menurut UU APBN 2024 adalah di desain dengan defisit 2,29 persen,” terangnya.

Bendahara Negara ini menjelaskan, defisit ini berasal dari kinerja pendapatan negara yang terkontraksi sebesar 7,1 persen. Sedangkan belanja negara terus meningkat sebesar 14 persen.

Menurutnya, itu dikarenakan dari kondisi global yang berubah pesat, seperti harga minyak, yield, nilai tukar rupiah, yang kemudian mempengaruhi kinerja perusahaan.

Adapun pendapatan negara sampai dengan akhir Mei terkontraksi 7,1 persen yang terdiri dari penerimaan pajak yang terkontraksi 8,4 persen. Hal ini disebabkan oleh harga komoditas yang mengalami koreksi

“Terutama perusahaan dengan harga komoditas, perusahaan mining CPO mereka mengalami koreksi dari sisi kinerja perusahaan untuk 2023 yang dilaporkan pada April lalu,” terangnya.

Halaman Selanjutnya

Menurutnya, itu dikarenakan dari kondisi global yang berubah pesat, seperti harga minyak, yield, nilai tukar rupiah, yang kemudian mempengaruhi kinerja perusahaan.

Halaman Selanjutnya



Fuente