Kamis, 4 Juli 2024 – 04:00 WIB

JAKARTA – Angka kelahiran di Indonesia mengalami penurunan yang cukup signifikan. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo menyebut angka kelahiran atau fertility rate di Indonesia menurun. Penurunan tersebut terjadi cukup progresif dan mencapai angka 2,18 pada satu dekade terakhir.

Baca Juga:

Perlukah Bekukan Sel Telur Wanita yang Belum Menikah, Demi Bisa Punya Keturunan di Kemudian Hari?

Angka ini cukup berbeda signifikan jika dibandingkan pada tahun 1970 yang mana rata-rata angka kelahiran mencapai 5,6 atau 5,7. Meski saat ini rata-rata angka kelahiran nasional mencapai 2,18, ternyata masih ada beberapa daerah di Indonesia yang masih memiliki angka kelahiran yang cukup tinggi. Sebut saja Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat dan Papua.

“Ini kan sudah warning, memang di daerah tertentu seperti NTT, Sulawesi Barat, Papua itu TFR-nya masih tinggi. Tetapi TFR nasional itu rata-ratanya 2,18,” kata Hasto saat dihubungi VIVA.co.id Selasa 2 Juli 2024.

Baca Juga:

Kepala BKKBN Sebut Usia Perempuan Menikah di Indonesia Alami Kemunduran

Hasto juga melihat adanya fenomena di masyarakat terkait dengan angka kelahiran anak. Disebutnya orang yang cenderung kaya di Indonesia memilih untuk tidak memiliki anak banyak. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan orang-orang yang tinggal di desa.

Baca Juga:

Angka Kelahiran di Indonesia Alami Penurunan, BKKBN Ungkap Fakta Ini

“Sekarang petanya, orang yang cenderung kaya anaknya sedikit. Orang yang tinggal di kota juga lebih sedikit anaknya daripada di desa. Orang yang pendidikannya tinggi, anaknya lebih sedikit daripada pendidikannya yang rendah. Pendidikan semakin meningkat, kemudian mendekati 60 persen sudah tinggal di kota, kemudian orang yang ekonominya menengah ke atas juga tambah banyak. Sehingga wajar orang yang ekonominya banyak cenderung sedikit anaknya. Bahkan anak-anak muda banyak yang child free, tidak ingin punya anak ada pengaruhnya (penurunan angka kelahiran),”jelasnya.

Di sisi lain, Hasto mengungkap alasan orang-orang dengan ekonomi rendah dan yang tinggal di desa lebih banyak memiliki anak dibanding mereka yang memiliki ekonomi cukup dan tinggal di perkotaan. Alasan kuat tersebut berkaitan dengan masih minimnya pendidikan di kalangan masyarakat tersebut.

“Menurut saya pengetahuan, orang miskin pengetahuannya rendah sehingga sering hamil lagi hamil lagi. di NTT angka kemiskinannya masih banyak itu, angka kelahirannya banyak. Angka FTR yang tinggi di daerah-daerah seperti NTT, Sulawesi Barat atau Papua,” ujarnya.

Bahanya terlalu banyak punya anak

Hasto yang juga seorang spesialis obstetri dan ginekologi mengungkap bahwa terlalu banyak anak dengan jarak kehamilan yang berdekatan juga tidak baik untuk ibu dan anak. Dia menjelaskan bahwa hamil dengan jarak yang terlalu dekat bisa menyebabkan terjadinya anemia pada ibu hamil.

“Sangat (berbahaya) kan namanya under nutrition. Status under nutrition ada anemia, defisiensi vitamin D ada defisiensi asam folat terjadi pada orang-orang terlalu dekat (jarak) kehamilannya. Misalkan anaknya baru satu tahun hamil lagi,” sambungnya.

Jarak kehamilan yang sangat dekat kata Hasto berhubungan sangat signifikan terhadap status gizi dan nutrisi ibu. Jika status nutrisi ibunya tidak bagus lantaran jarak kehamilannya terlalu dekat, maka bisa menyebabkan terjadinya stunting pada bayi yang lahir.

“Jumlah anaknya terlalu banyak maka ibunya biasanya anemia, ibunya juga bisa KEK (Kurang Energi Kronis kurang protein jadi lingkar lengannya kurang dari 23,5. Itu kan sudah terbukti kalau mereka dengan kondisi seperti itu sudah terbukti berisiko tinggi melahirkan anak stunting, ini yang perlu diwaspadai,” kata dia.

Halaman Selanjutnya

“Menurut saya pengetahuan, orang miskin pengetahuannya rendah sehingga sering hamil lagi hamil lagi. di NTT angka kemiskinannya masih banyak itu, angka kelahirannya banyak. Angka FTR yang tinggi di daerah-daerah seperti NTT, Sulawesi Barat atau Papua,” ujarnya.



Fuente